BAGAIMANA MENGOBATI AMARAH JIKA TELAH BERGEJOLAK? USTADZ FAUZI LUBIS S.Pd.I,.M.Pd
JANGAN MARAH
USTADZ FAUZI LUBIS S.Pd.I,.M.Pd
Jangan Marah, Kamu Akan Masuk Surga
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ
رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَوْصِنِيْ ،
قَالَ : (( لَا تَغْضَبْ )). فَرَدَّدَ مِرَارًا ؛ قَالَ : (( لَا تَغْضَبْ )).
رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa ada
seorang laki-laki berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Berilah
aku wasiat”. Beliau menjawab, “Engkau jangan marah!” Orang itu mengulangi
permintaannya berulang-ulang, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Engkau jangan marah!” [HR al-Bukhâri].
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh: al-Bukhâri (no. 6116), Ahmad (II/362,
466, III/484), at-Tirmidzi (no. 2020), Ibnu Hibban (no. 5660-5661 dalam
at-Ta’lîqâtul Hisân), ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Kabîr (II/261-262, no.
2093-2101), Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (no. 25768-25769), ‘Abdurrazzaq
dalam al-Mushannaf (no. 20286), al-Baihaqi dalam Syu’abul-Îmân (no. 7924,
7926), al-Baihaqi dalam as-Sunanul-Kubra (X/105), al-Baghawi dalam Syarhus
Sunnah (XIII/159, no. 3580).
SYARAH HADITS
Sahabat yang meminta wasiat dalam hadits ini bernama Jariyah bin Qudamah
Radhiyallahu anhu. Ia meminta wasiat kepada Nabi dengan sebuah wasiat yang
singkat dan padat yang mengumpulkan berbagai perkara kebaikan, agar ia dapat
menghafalnya dan mengamalkannya. Maka Nabi berwasiat kepadanya agar ia tidak
marah. Kemudian ia mengulangi permintaannya itu berulang-ulang, sedang Nabi
tetap memberikan jawaban yang sama. Ini menunjukkan bahwa marah adalah pokok
berbagai kejahatan, dan menahan diri darinya adalah pokok segala kebaikan.
Marah adalah bara yang dilemparkan setan ke dalam
hati anak Adam sehingga ia mudah emosi, dadanya membara, urat sarafnya menegang,
wajahnya memerah, dan terkadang ungkapan dan tindakannya tidak masuk akal.
DEFINISI MARAH
Marah ialah bergejolaknya darah dalam hati untuk menolak gangguan yang
dikhawatirkan terjadi atau karena ingin balas dendam kepada orang yang
menimpakan gangguan yang terjadi padanya.
Marah banyak sekali menimbulkan perbuatan yang
diharamkan seperti memukul, melempar barang pecah belah, menyiksa, menyakiti
orang, dan mengeluarkan perkataan-perkataan yang diharamkan seperti menuduh,
mencaci maki, berkata kotor, dan berbagai bentuk kezhaliman dan permusuhan,
bahkan sampai membunuh, serta bisa jadi naik kepada tingkat kekufuran
sebagaimana yang terjadi pada Jabalah bin Aiham, dan seperti sumpah-sumpah yang
tidak boleh dipertahankan menurut syar’i, atau mencerai istri yang disusul
dengan penyesalan.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqâlani rahimahullah
berkata, “Adapun hakikat marah tidaklah dilarang karena merupakan perkara
tabi’at yang tidak bisa hilang dari perilaku kebiasaan manusia.”
Yang dimaksud dengan hadits di atas adalah marah
yang dilakukan karena menuruti hawa nafsu dan menimbulkan kerusakan.
Di dalam Al-Qur`ân Karim disebutkan bahwasanya
Allah marah. Adapun marah yang dinisbatkan kepada Allah Ta’ala Yang Mahasuci
adalah marah dan murka kepada orang-orang kafir, musyrik, munafik, dan
orang-orang yang melewati batas-Nya. Allah Ta’ala berfirman:
وَيُعَذِّبَ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ
وَالْمُشْرِكِينَ وَالْمُشْرِكَاتِ الظَّانِّينَ بِاللَّهِ ظَنَّ السَّوْءِ ۚ
عَلَيْهِمْ دَائِرَةُ السَّوْءِ ۖ وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَلَعَنَهُمْ
وَأَعَدَّ لَهُمْ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Dan Dia mengadzab orang-orang munafik laki-laki
dan perempuan dan (juga) orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang
berprasangka buruk terhadap Allah. Mereka akan mendapat giliran (adzab) yang
buruk, dan Allah murka kepada mereka dan mengutuk mereka, serta menyediakan
neraka Jahannam bagi mereka. Dan (neraka Jahannam) itu seburuk-buruk tempat
kembali. [al-Fath/48 : 6][2].
Di dalam hadits yang panjang tentang syafaat
disebutkan bahwa Allah sangat marah yang belum pernah marah seperti kemarahan
saat itu baik sebelum maupun sesudahnya.
Setiap muslim wajib menetapkan sifat marah bagi
Allah, tidak boleh mengingkarinya, tidak boleh ditakwil, dan tidak boleh
menyamakan dengan sifat makhluk-Nya. Allah Ta’ala berfirman:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ
الْبَصِيرُ
…Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan
Dia Maha Mendengar, Maha Melihat. [asy-Syûrâ/42 : 11].
Sifat marah bagi Allah merupakan sifat yang sesuai
dengan keagungan dan kemuliaan bagi Allah, dan ini merupakan manhaj Salaf yang
wajib ditempuh oleh setiap muslim.
Adapun marah yang dinisbatkan kepada makhluk; ada
yang terpuji ada pula yang tercela. Terpuji apabila dilakukan karena Allah Azza
wa Jalla dalam membela agama Allah Azza wa Jalladengan ikhlas, membela
hak-hak-Nya, dan tidak menuruti hawa nafsu, seperti yang dilakukan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau marah karena ada hukum-hukum
Allah dan syari’at-Nya yang dilanggar, maka beliau marah. Begitu pula marahnya
Nabi Musa Alaihissallam dan marahnya Nabi Yunus Alaihissallam . Adapun
yang tercela apabila dilakukan karena membela diri, kepentingan duniawi, dan
melewati batas.
Dalam hadits di atas disebutkan larangan marah
karena marah mengikuti emosi dan hawa nafsu yang pengaruhnya membawa kepada
kehancuran dan kebinasaan.
Ja’far bin Muhammad rahimahullah mengatakan,
“Marah adalah pintu segala kejelekan.” Dikatakan kepada Ibnu Mubarak
rahimahullah , “Kumpulkanlah untuk kami akhlak yang baik dalam satu kata!”
Beliau menjawab, “Meninggalkan amarah.” Demikian juga Imam Ahmad rahimahullah
dan Ishaq rahimahullah menafsirkan bahwa akhlak yang baik adalah dengan
meninggalkan amarah.
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
“Engkau jangan marah “ kepada orang yang meminta wasiat kepada beliau
mengandung dua hal.
Pertama : Maksud dari perintah beliau ialah
perintah untuk memiliki sebab-sebab yang menghasilkan akhlak yang baik, berupa
dermawan, murah hati, penyantun, malu, tawadhu’, sabar, menahan diri dari
mengganggu orang lain, pemaaf, menahan amarah, wajah berseri, dan akhlak-akhlak
baik yang semisalnya.
Apabila jiwa terbentuk dengan akhlak-akhlak yang
mulia ini dan menjadi kebiasaan baginya, maka ia mampu menahan amarah, pada
saat timbul berbagai sebabnya.
Kedua : Maksud sabda Nabi ialah, “Engkau jangan
melakukan tuntutan marahmu apabila marah terjadi padamu, tetapi usahakan dirimu
untuk tidak mengerjakan dan tidak melakukan apa yang diperintahnya.” Sebab,
apabila amarah telah menguasai manusia, maka amarah itu yang memerintah dan
yang melarangnya.
Makna ini tercermin dalam firman Allah Ta’ala:
وَلَمَّا سَكَتَ عَنْ مُوسَى الْغَضَبُ
Dan setelah amarah Musa mereda… [al-A’râf/7 :
154].
Apabila manusia tidak mengerjakan apa yang
diperintahkan amarahnya dan dirinya berusaha untuk itu, maka kejelekan amarah
dapat tercegah darinya, bahkan bisa jadi amarahnya menjadi tenang dan cepat
hilang sehingga seolah-olah ia tidak marah.
Pada makna inilah terdapat isyarat dalam Al-Qur`ân
dengan firman-Nya Azza wa Jalla :
وَإِذَا مَا غَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُونَ
… Dan apabila mereka marah segera memberi maaf.
[asy-Syûrâ/42 : 37].
Juga dengan firman-Nya Ta’ala:
وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ
النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
…Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan
memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat
kebaikan. [Ali ‘Imrân/3 : 134].
Nabi memerintahkan orang yang sedang marah untuk
melakukan berbagai sebab yang dapat menahan dan meredakan amarahnya. Dan beliau
memuji orang yang dapat mengendalikan dirinya ketika marah.
Diantara cara yang diajarkan Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam meredam amarah adalah dengan mengucapkan: أَعُوْذُ بِاللهِ
مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ .
Diriwayatkan dari Sulaiman bin Shurad Radhiyallahu
anhu, ia berkata:
Kami sedang duduk bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba-tiba ada dua
orang laki-laki saling mencaci di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Seorang dari keduanya mencaci temannya sambil marah, wajahnya memerah, dan urat
lehernya menegang, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh,
aku mengetahui satu kalimat, jika ia mengucapkannya niscaya hilanglah darinya
apa yang ada padanya (amarah). Seandainya ia mengucapkan,
أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ.
(Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan
yang terkutuk)”. Para sahabat berkata, “Tidakkah engkau mendengar apa yang
dikatakan Rasulullah?” Laki-laki itu menjawab, “Aku bukan orang gila”.
Allah Ta’ala memerintahkan kita apabila kita
diganggu setan hendaknya kita berlindung kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman:
وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ
فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ ۚ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Dan jika setan datang mengodamu, maka
berlindunglah kepada Allah. Sungguh,
Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.
[al-A’râf/7 : 200].
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan
agar orang yang marah untuk duduk atau berbaring. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallambersabda:
إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ
فَلْيَجْلِسْ ، فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ ، وَإِلَّا فَلْيَضْطَجِعْ.
Apabila seorang dari kalian marah dalam keadaan
berdiri, hendaklah ia duduk; apabila amarah telah pergi darinya, (maka itu baik
baginya) dan jika belum, hendaklah ia berbaring
Ada yang mengatakan bahwa berdiri itu siap untuk
balas dendam, sedang orang duduk tidak siap untuk balas dendam, sedang orang
berbaring itu sangat kecil kemungkinan untuk balas dendam.
Maksudnya ialah hendaknya seorang muslim mengekang
amarahnya dalam dirinya dan tidak menujukannya kepada orang lain dengan lisan
dan perbuatannya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengajarkan apabila seseorang marah hendaklah ia diam, Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallambersabda:
إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْكُتْ.
Apabila seorang dari kalian marah, hendaklah ia
diam.
Ini juga merupakan obat yang manjur bagi amarah,
karena jika orang sedang marah maka keluarlah darinya ucapan-ucapan yang kotor,
keji, melaknat, mencaci-maki dan lain-lain yang dampak negatifnya besar dan ia
akan menyesal karenanya ketika marahnya hilang. Jika ia diam, maka semua
keburukan itu hilang darinya.
Menurut syari’at Islam bahwa orang yang kuat
adalah orang yang mampu melawan dan mengekang hawa nafsunya ketika marah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِالصُّرَعَةِ ، إِنَّمَا
الشَّدِيْدُ الَّذِيْ يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ.
Orang yang kuat itu bukanlah yang pandai bergulat,
tetapi orang yang kuat ialah orang yang dapat mengendalikan dirinya ketika
marah.
Imam Ibnu Baththal rahimahullah mengatakan bahwa
melawan hawa nafsu lebih berat daripada melawan musuh.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjelaskan tentang keutamaan orang yang dapat menahan amarahnya, Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:
مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ
يُنْفِذَهُ دَعَاهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُؤُوْسِ الْخَلاَئِقِ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ اللهُ مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ مَا شَاءَ.
Barangsiapa menahan amarah padahal ia mampu
melakukannya, pada hari Kiamat Allah k akan memanggilnya di hadapan seluruh
makhluk, kemudian Allah menyuruhnya untuk memilih bidadari yang ia sukai.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
bersabda kepada seorang sahabatnya,
لاَ تَغْضَبْ وَلَكَ الْجَنَّةُ.
Jangan kamu marah, maka kamu akan masuk Surga.
Yang diwajibkan bagi seorang Mukmin ialah
hendaklah keinginannya itu sebatas untuk mencari apa yang dibolehkan oleh Allah
Ta’ala baginya, bisa jadi ia berusaha mendapatkannya dengan niat yang baik
sehingga ia diberi pahalanya karena. Dan hendaklah amarahnya itu untuk menolak
gangguan terhadap agamanya dan membela kebenaran atau balas dendam terhadap
orang-orang yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sebagaiman Allah Ta’ala
berfirman:
قَاتِلُوهُمْ يُعَذِّبْهُمُ اللَّهُ بِأَيْدِيكُمْ
وَيُخْزِهِمْ وَيَنْصُرْكُمْ عَلَيْهِمْ وَيَشْفِ صُدُورَ قَوْمٍ مُؤْمِنِين
َوَيُذْهِبْ غَيْظَ قُلُوبِهِمْ
Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa
mereka dengan (perantaraan) tanganmu dan Dia akan menghina mereka dan
menolongmu (dengan kemenangan) atas mereka, serta melegakan hati orang-orang
yang beriman. Dan Dia menghilangkan kemarahan hati mereka (orang Mukmin)…
[at-Taubah/9 : 14-15].
Ini adalah keadaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam , beliau tidak balas dendam untuk dirinya sendiri. Namun jika ada
hal-hal yang diharamkan Allah dilanggar, maka tidak ada sesuatu pun yang
sanggup menahan kemarahan beliau. Dan beliau belum pernah memukul pembantu dan
wanita dengan tangan beliau, namun beliau menggunakan tangan beliau ketika
berjihad di jalan Allah.
‘Aisyah Radhiyallahu anhuma ditanya tentang akhlak
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ia menjawab, “Akhlak beliau
adalah Al-Qur`ân.” Maksudnya beliau beradab dengan adab Al-Qur`ân,
berakhlak dengan akhlaknya. Beliau ridha karena keridhaan Al-Qur`ân dan marah
karena kemarahan Al-Qur`ân.
Karena sangat malunya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak menghadapi siapa pun dengan sesuatu yang beliau benci, bahkan
ketidaksukaan beliau terlihat di wajah beliau, sebagaimana diriwayatkan dari
Abu Sa’id al-Khudri , ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
lebih pemalu daripada gadis yang dipingit. Apabila beliau melihat sesuatu yang
dibencinya, kami mengetahuinya di wajah beliau.”
Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi
tahu Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu tentang ucapan seseorang, “Pembagian ini
tidak dimaksudkan untuk mencari wajah Allah.” Maka ucapan itu terasa berat bagi
beliau, wajah beliau berubah, beliau marah, dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallamhanya bersabda:
لَقَدْ أُوْذِيَ مُوْسَى بِأَكْثَرَ مِنْ هَذَا
فَصَبَرَ.
Sungguh Musa disakiti dengan yang lebih
menyakitkan daripada ini, namun beliau bersabar.
Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melihat atau mendengar sesuatu yang membuat Allah murka, maka beliau marah
karenanya, menegurnya, dan tidak diam. Beliau pernah memasuki rumah ‘Aisyah Radhiyallahu
anhuma dan melihat tirai yang terdapat gambar makhluk hidup padanya, maka wajah
beliau berubah dan beliau merobeknya lalu bersabda, “Sesungguhnya orang yang
paling keras adzabnya pada hari Kiamat ialah orang yang menggambar
gambar-gambar ini.”
Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi
pengaduan tentang imam yang shalat lama dengan manusia hingga sebagian mereka
terlambat, beliau marah, bahkan sangat marah, menasihati manusia, dan menyuruh
meringankan shalat (supaya tidak memanjangkan shalatnya).
Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat
dahak di kiblat masjid, beliau marah, mengeruknya, dan bersabda, “Sesungguhnya
jika salah seorang dari kalian berada dalam shalat, maka Allah ada di depan
wajahnya. Oleh karena itu, ia jangan sekali-kali berdahak di depan wajahnya
ketika shalat.”
Diantara do’a yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallambaca ialah:
أَسْأَلُكَ كَلِمَةَ الْحَقِّ فِي الْغَضَبِ
وَالرِّضَى.
Aku memohon kepada-Mu perkataan yang benar pada
saat marah dan ridha.
Ini sangat mulia, yaitu seorang hanya berkata
benar ketika ia marah atau ridha, karena sebagian manusia jika mereka marah ,
mereka tidak bisa berhenti dari apa yang mereka katakan.
Dari Jabir , ia berkata, “Kami pernah berjalan
bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada satu peperangan, dan ada
seorang laki-laki berada di atas untanya. Unta orang Anshar itu berjalan lambat
kemudian orang Anshar itu berkata, ‘Berjalanlah semoga Allah melaknatmu.’
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada orang itu, ‘Turunlah
engkau dari unta tersebut. Engkau jangan menyertai kami dengan sesuatu yang
telah dilaknat. Kalian jangan mendo’akan kejelekan bagi diri kalian. kalian
jangan mendo’akan kejelekan bagi anak-anak kalian. Kalian jangan mendo’akan
kejelekan bagi harta kalian. Tidaklah kalian berada di satu waktu jika waktu
tersebut permintaan diajukan, melainkan Allah akan mengabulkan bagi
kalian.”
Ini semua menunjukkan bahwa do’a orang yang marah
akan dikabulkan jika bertepatan dengan waktu yang diijabah, dan pada saat marah
ia dilarang berdo’a bagi kejelekan dirinya, keluarganya, dan hartanya.
Seorang ulama Salaf rahimahullah berkata, ”Orang
yang marah jika penyebab marahnya adalah sesuatu yang diperbolehkan seperti
sakit dan perjalanan, atau penyebab amarahnya adalah ketaatan seperti puasa, ia
tidak boleh dicela karenanya,” maksudnya ialah orang tersebut tidak berdosa
jika yang keluar darinya ketika ia marah ialah perkataan yang mengandung
hardik, caci-maki, dan lain sebagainya, seperti disabdakan Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam , “Sesungguhnya aku hanyalah manusia, aku ridha seperti
ridhanya manusia dan aku marah seperti marahnya manusia. Orang Muslim mana saja
yang pernah aku caci dan aku cambuk, maka aku menjadikannya sebagai penebus
(dosa) baginya.”
Sedang jika yang keluar dari orang yang marah
adalah kekufuran, kemurtadan, pembunuhan jiwa, mengambil harta tanpa alasan
yang benar, dan lain sebagainya, maka orang Muslim tidak ragu bahwa orang marah
tersebut mendapat hukuman karena semua itu. Begitu juga jika yang keluar dari
orang yang marah adalah perceraian, pemerdekaan budak, dan sumpah, ia dihukum
karena itu semua tanpa ada perbedaan pendapat di dalamnya.
Diriwayatkan dari Mujahid, dari Ibnu ‘Abbas bahwa
seorang laki-laki berkata, “Aku mentalaq istriku dengan talak tiga ketika aku
marah.” Maka Ibnu ‘Abbas berkata, “Sesungguhnya Ibnu ‘Abbas tidak bisa
menghalalkan untukmu apa yang telah Allah haramkan atasmu, engkau telah
mendurhakai kepada Rabb-mu, dan engkau mengharamkan istrimu atas dirimu
sendiri.”
Diriwayatkan dengan shahih dari banyak Sahabat
bahwa mereka berfatwa sesungguhnya sumpah orang yang marah itu sah dan di
dalamnya terdapat kaffarat.
Al-Hasan rahimahullah berkata, “Thalaq yang sesuai
Sunnah ialah suami mentalaq istrinya dengan talaq satu dalam keadaan suci dan
tidak digauli. Suami mempunyai hak pilih antara masa tersebut dengan istrinya
selama tiga kali haidh. Jika ia ingin rujuk dengan istrinya, ia berhak
melakukannya. Jika ia marah, istrinya menunggu tiga kali haidh atau tiga bulan
jika ia tidak haidh agar marahnya hilang.” Al-Hasan rahimahullah berkata lagi,
“Allah menjelaskan agar tidak seorang pun menyesal dalam perceraiannya seperti
yang diperintahkan Allah.” Diriwayatkan oleh al-Qadhi Isma’il.
BAGAIMANA MENGOBATI AMARAH JIKA TELAH BERGEJOLAK?
Orang yang marah hendaklah melakukan hal-hal berikut:
1. Berlindung kepada Allah dari godaan setan dengan membaca:
أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.
2. Mengucapkan kalimat-kalimat yang baik, berdzikir, dan istighfar.
3. Hendaklah diam, tidak mengumbar amarah.
4. Dianjurkan berwudhu’.
5. Merubah posisi, apabila marah dalam keadaan berdiri hendaklah duduk, dan
apabila marah dalam keadaan duduk hendaklah berbaring.
6. Jauhkan hal-hal yang membawa kepada kemarahan.
7. Berikan hak badan untuk beristirahat.
8. Ingatlah akibat jelek dari amarah.
9. Ingatlah keutamaan orang-orang yang dapat menahan amarahnya.
Wallâhu a’lam.
FAWA`ID HADITS
1. Semangatnya para Sahabat untuk memperoleh apa yang bermanfaat bagi mereka.
2. Dianjurkan memberikan nasihat dan wasiat bagi orang yang memintanya.
3. Seorang muslim harus mencari jalan-jalan kebaikan dan keselamatan yang
sesuai dengan Sunnah.
4. Mengulangi nasihat memiliki manfaat yang banyak.
5. Larangan dari marah berdasarkan sabda beliau, “Engkau jangan marah!” Sebab,
amarah dapat menimbulkan berbagai kerusakan yang besar apabila seseorang
berbuat dengan menuruti hawa nafsu untuk membela dirinya.
6. Agama Islam melarang akhlak yang jelek, dan larangan tersebut mengharuskan
perintah berakhlak yang baik.
7. Marah merupakan sifat dan tabi’at manusia.
8. Dianjurkan untuk menahan marah dan ini termasuk dari sifat seorang mukmin.
9. Melawan hawa nafsu lebih berat daripada melawan musuh.
10. Dianjurkan menjauhkan hal-hal yang membawa kepada kemarahan.
11. Marah yang terpuji adalah apabila seseorang marah karena Allah, untuk
membela kebenaran, dan tidak menuruti hawa nafsu dan tidak merusak.
12. Sabar dan pemaaf adalah sifat orang yang beriman dan berbuat kebajikan.
13. Apabila seseorang marah hendaklah ia berlindung kepada Allah dari godaan
setan yang terkutuk, dan melakukan apa yang disebutkan di atas tentang obat
meredam amarah.
Maraaji’:
1. Al-Qur`ân dan terjemahnya.
2. Al-Mu’jamul Ausath lith-Thabrani.
3. Al-Wâfi fî Syarhil Arba’în an-Nawawiyyah, karya Dr. Musthafa al-Bugha dan
Muhyidin Mustha.
4. As-Sunanul Kubra lin-Nasâ`i.
5. Bahjatun-Nâzhirîn Syarh Riyâdhish-Shâlihîn, karya Syaikh Salim bin ‘Id
al-Hilali.
6. Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqiq: Syu’aib
al-Arnauth dan Ibrâhim Bâjis.
7. Kutubus Sab’ah.
8. Mushannaf Ibni Abi Syaibah.
9. Mustadrak al-Hakim.
10. Qawâ’id wa Fawâ`id minal-‘Arba’în an-Nawawiyyah, karya Nazhim Muhammad Sulthan.
11. Shahiih al-Jâmi’ish Shaghîr.
12. Shahîh Ibni Hibban dengan at-Ta’liqâtul-Hisân ‘ala Shahîh Ibni Hibban.
13. Shahîh at-Targhîb wat-Tarhîb.
14. Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah.
15. Sunan ad-Darimi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar