Untuk anakku yang ku sayangi di bumi Allah SWT
Rahmad Fauzi Lubis, S.Pd.I.
M.Pd
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ
إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ
اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي قَالَ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ
مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ
قَالَ ثُمَّ أَبُوكَ
Untuk anakku yang ku sayangi di bumi Allah
ta’ala
Segala puji ku panjatkan ke hadirat Allah ta’ala, yang
telah memudahkan ibu untuk beribadah kepada-Nya.
Sholawat serta salam, ibu sampaikan kepada Nabi Muhammad -shollallohu alaihi
wasallam-, keluarga, dan para sahabatnya.
Wahai anakku …
Surat ini datang dari ibumu, yang selalu dirundung
sengsara. Setelah berpikir panjang, ibu mencoba untuk menulis dan menggoreskan
pena, sekalipun keraguan dan rasa malu menyelimuti diri ini.
Setiap kali menulis, setiap itu pula gores tulisan ini terhalangi oleh tangis.
Dan setiap kali menitikkan air mata, setiap itu pula, hati ini terluka.
Wahai anakku …
Sepanjang masa yang telah engkau lewati, kulihat engkau telah menjadi laki-laki
dewasa, laki-laki yang cerdas dan bijak. Karenanya engkau pantas membaca
tulisan ini, sekalipun nantinya engkau akan remas kertas ini, lalu engkau
robek-robek, sebagaimana sebelumnya engkau telah remas hati ibu, dan telah
engkau robek pula perasaannya.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ
إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ
اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي قَالَ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ
مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ
قَالَ ثُمَّ أَبُوكَ
Wahai anakku …
25 tahun telah berlalu, dan tahun-tahun itu merupakan
tahun kebahagiaan dalam kehidupanku.
Suatu ketika dokter datang menyampaikan tentang kehamilanku, dan semua ibu
sangat mengerti arti kalimat tersebut. Bercampur rasa gembira dan bahagia dalam
diri ini, sebagaimana ia adalah awal mula dari perubahan fisik dan emosi ibu.
Semenjak kabar gembira tersebut, aku membawamu sembilan bulan. Tidur, berdiri,
makan, dan bernafas dalam kesulitan. Akan tetapi, itu semua tidak mengurangi
cinta dan kasih sayangku kepadamu, bahkan ia tumbuh bersama berjalannya waktu.
Aku mengandungmu wahai anakku, pada kondisi lemah di atas lemah. Bersamaan
dengan itu, aku begitu gembira tatkala merasakan dan melihat terjalan kakimu,
atau balikan badanmu di perutku.
Aku merasa puas, setiap aku menimbang diriku, karena bila semakin hari semakin
berat perutku, berarti dengan begitu engkau sehat wal afiat di dalam rahimku.
Anakku …
Penderitaan yang berkepanjangan menderaku, sampailah tiba pada malam itu, yang
aku tidak bisa tidur sekejap pun, aku merasakan sakit yang tidak tertahankan,
dan merasakan takut yang tidak bisa dilukiskan.
Sakit itu berlanjut, sehingga membuatku tidak dapat lagi menangis. Sebanyak itu
pula, aku melihat kematian di hadapanku, hingga tibalah waktunya engkau keluar
ke dunia, dan engkau lahir. Bercampur air mata kebahagiaanku dengan air mata
tangismu.
Ketika engkau lahir, menetes air mata bahagiaku. Dengan itu, sirna semua
keletihan dan kesedihan, hilang semua sakit dan penderitaan, bahkan kasihku
kepadamu semakin bertambah, dengan bertambah kuatnya sakit.
Aku raih dirimu, sebelum ku raih minuman. Aku peluk cium dirimu, sebelum
meneguk satu tetes air yang ada di kerongkongan.
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ
النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي قَالَ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ
قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أَبُوكَ
Wahai anakku …
Telah berlalu setahun dari usiamu. Aku membawamu dengan
hatiku, memandikanmu dengan kedua tangan kasih sayangku. Sari pati hidupku,
kuberikan kepadamu. Aku tidak tidur, demi tidurmu, berletih demi kebahagiaanmu.
Harapanku pada setiap harinya, agar aku selalu melihat senyumanmu.
Kebahagiaanku setiap saat, adalah setiap permintaanmu agar aku berbuat sesuatu
untukmu. Itulah kebahagiaanku.
Lalu berlalulah waktu, hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti
tahun, selama itu pula, aku setia menjadi pelayanmu yang tidak pernah lalai…
menjadi dayangmu yang tidak pernah berhenti… menjadi pekerjamu yang tidak
pernah lelah… dan mendoakan selalu kebaikan dan taufiq untukmu.
Aku selau memperhatikan dirimu, hari demi hari, hingga engkau menjadi dewasa.
Badanmu yang tegap, ototmu yang kekar, kumis dan jambang tipis telah menghiasi
wajahmu, telah menambah ketampananmu, wahai anakku…
Tatkala itu, aku mulai melirik ke kiri dan ke kanan, demi mencari pasangan
hidupmu, semakin dekat hari perkawinanmu anakku, semakin dekat pula hari
kepergianmu.
Tatkala itu, hatiku serasa teriris-iris, air mataku mengalir, entah apa rasanya
hati ini. Bahagia telah bercampur dengan duka. Tangis telah bercampur pula
dengan tawa.
Bahagia karena engkau mendapatkan pasangan… karena engkau telah mendapatkan
jodoh… karena engkau telah mendapatkan pendamping hidup… Sedangkan sedih karena
engkau adalah pelipur hatiku, yang akan berpisah sebentar lagi dari diriku.
Waktu pun berlalu, seakan-akan aku menyeretnya dengan berat, kiranya setelah
perkawinan itu, aku tidak lagi mengenal dirimu.
Senyummu yang selama ini menjadi pelipur duka dan kesedihanku, sekarang telah
sirna bagaikan matahari yang ditutupi oleh kegelapan malam. Tawamu yang selama
ini kujadikan buluh perindu, sekarang telah tenggelam, seperti batu yang
dijatuhkan ke dalam kolam yang hening, dengan dedaunan yang berguguran, aku
benar-benar tidak mengenalmu lagi, karena engkau telah melupakanku dan
melupakan hakku.
Terasa lama hari-hari yang ku lewati, hanya untuk melihat rupamu. Detik demi
detik ku hitung demi mendengar suaramu. Akan tetapi penantianku seakan sangat
panjang. Aku selalu berdiri di pintu hanya untuk menanti kedatanganmu. Setiap
kali berderit pintu, aku menyangka bahwa engkaulah orang yang datang itu.
Setiap kali telepon berdering, aku merasa bahwa engkau yang akan menelponku.
Setiap suara kendaraan yang lewat, aku merasa bahwa engkaulah yang datang.
Akan tetapi semua itu tidak ada, penantianku sia-sia, dan harapanku hancur
berkeping. Yang ada hanya keputus-asaan… Yang tersisa hanya kesedihan dari
semua keletihan yang selama ini ku rasakan, sambil menangisi diri dan nasib
yang memang ditakdirkan oleh-Nya.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ
إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ
اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي قَالَ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ
مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ
قَالَ ثُمَّ أَبُوكَ